“Setiap pengabdian jangan berharap imbalannya.” (Suleman Sj Tengkulu, SH., 1965-2020).
Satu persatu kenangan demi kenangan silih berganti seakan memenuhi kepala, beraduk dengan kesedihan di ruang batin, saat kabar duka itu menghampiriku. Pak Emang—begitu Suleman Sj Tengkulu akrab disapa, berpulang ke “pangkuan” Ilahi di sore yang mendung dan sesekali ditingkahi rintik hujan, Rabu 8 Juli.
Rekan kerja mendiang Pak Emang di Biro Protokoler Kerjasama dan Komunikasi Publik (PKKP) Sekretariat Daerah Provinsi Maluku Utara dan jurnalis memposting video, foto, dan mengirimkan rekaman kepadaku. Ungkapan belasungkawa dan doa tak hanya terpajang di rumah duka, Jati, Kota Ternate Selatan. Melainkan juga di media sosial oleh pimpinan dan staf Biro PKKP, pimpinan media cetak dan online, kawan-kawan jurnalis terutama yang bertugas di Sofifi, dan karib beliau. Bahkan, keluarga besar pimpinan media cetak maupun online, menerbitkan dan menayangkan.
Pagi kemarin, di rumah duka, Kepala Biro PKKP Muliadi Tutupoho berupaya tegar menyampaikan sepatah kata. Ia mewakili Gubernur KH. Abdul Gani Kasuba yang tak sempat melayat dan mengikuti prosesi pelepasan jenazah. Kasubag Protokoler Biro PKKP, Nasrin, terbata-bata membacakan riwayat singkat almarhum. Bahkan, beberapa kali tersedu-sedu.
Masih dari video dan foto itu. Siangnya, sesusai disholatkan di Masjid depan rumah duka, jenazah diseberangkan dengan kapal kayu ke Tidore untuk dimakamkan di tanah kelahirannya. Karena tak sempat melayat, KH. Abdul Gani Kasuba menunggu jenazah sang konseptor pidato Gubernur itu di Pelabuhan Bastiong. Kapal perlahan meninggalkan pelabuhan, KH. Abdul Gani Kasuba masih terpaku. Pengabdi tanpa pamrih itu telah pergi.
Siapakah Pak Emang yang begitu dicintai banyak kalangan? Lahir pada 7 Februari 1965 di Tuguiha, Tidore, sarjana hukum ini mulai mengabdikan dirinya pada bangsa dan negara sejak 1 Maret 1993. Setahun kemudian, tepatnya 1 Agustus, ia diangkat sebagai PNS, dan pangkat terakhirnya Pembina Tk.I.IV/b pada 1 Oktober 2011.
Selama kariernya, Pak Emang diamanahi sejumlah jabatan penting di Pemprov Malut. Kepala Sub Bagian Penyajian dan Pemberitaan pada Bagian Penerangan, Publikasi dan Dokumentasi Biro Humas Sekretariat Daerah; Penjabat Kepala Bagian Komunikasi Media, Biro Informasi dan Komunikasi; Kepala Bagian Humas Biro Humas dan Protokoler, 22 Oktober 2009; Sekretaris Komisi Penyiaran Indonesia Provinsi Maluku Utara, 19 September 2014; serta Kepala Bagian Publikasi Pengumpulan dan Penyaringan Informasi Biro PKKP, 8 Maret 2019.
Pak Emang meninggal di usia 55 tahun tiga bulan. Dan, dari usia ini, 27 tahun empat bulan, beliau setulus hati mengabdikan diri pada negara dan bangsa yang dicintainya. Pada 2008, Presiden Republik Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono memberikan penghargaan Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya kepadanya untuk masa pengabdian selama 10 tahun.
Meski punya jabatan dan pernah mendapat penghargaan dari Presiden RI, Pak Emang tak pernah menampakan, memamerkan, apalagi menepuk dada atas apa yang dicapainya. Kesederhanaan “membungkus” aktivitasnya di kantor maupun luar kantor. Pergaulannya luas. Dr. Herman Oesman, sosilog UMMU, salah satu karibnya. Orang-orang yang tak mengenalnya akan menduga hanya pegawai biasa, itu pula (maaf) pernah terlintas di benak saya saat pertama bersua dan kenalan di bilik kerjanya, tahun lalu.
Kendati peresahabatan kami terbilang seumur jagung: satu tahun tiga bulan delapam hari, banyak hal terpenting yang berkesan. Di antaranya, Pak Emang adalah seorang Muslim yang taat. Masih segar dalam ingatan, kala lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an bergema, ia bersiap-siap, lalu bergegas ke Masjid depan kantor Gubernur, shalat berjamaah dengan Gubernur KH. Abdul Gani Kasuba, Wakil Gubernur, H M Al Yasin Ali, pejabat dan staf Pemprov Malut.
Sosok pendiam dan sabar itu juga dikenal pekerja keras, murah senyum, halus tutur kata, dan suka membantu, tak berharap balasan. Tak pernah memotong pembicaraan orang sekalipun usia beliau terpaut jauh dari orang berbicara dengannya. Di saat rapat evaluasi progres kerja, bicara jika dipersilakan. Tak ada amarah di raut wajahnya, menegur kelambatan kerja dengan cara yang santun, tak melukai. Bersenda gurau pada tempat dan waktunya.
Shalat ialah ibadah wajib setiap Muslim. Kerja keras tanpa pamrih ialah jihad. Kesabaran, gampang senyum, halus tutur kata, suka membantu dan seterusnya, merupakan ajaran Islam terpenting dalam pergaulan sosial, hablum minannas. Kesemuanya tak bisa dipisahkan satu sama lain. Seorang Muslim yang benar-benar menunaikan shalat sepenuh jiwa, tercemin dalam bekerja dan pergaulan sosialnya yang luas.
Karena itu, saya termasuk yang beruntung diperkenankan oleh Allah SWT untuk bersahabat dengan Pak Emang. Sepenggal jejak hidup dan prinsip kerjanya yang saya kutip di awal tulisan ini, adalah cermin benderang bagi kita yang masih diberi nafas menapaki hidup ini. “Kita semua mencintai Pak Emang, tapi Allah SWT lebih mencintai beliau. Ikhlaskanlah kepergian beliau, agar bisa tenang di sisi Pemberi Kasih Yang Maha Pengasih. Semoga husnusl khotimah. Aminn ya Rabbal alamiin,” gumamku, mata berkaca-kaca. (*)
Discussion about this post