DARI lisan. Turun menurun menjelma kata-kata. Paham-paham terus mengalir ke hilir lalu menuliskan dengan cara klasik. Menyuarakan dari puisi yang berisi perjuangan dengan darah. Menyerahkan, meminta, dan mengumpulkan panjang pendek teks-teks yang hilang ditelan waktu dan airmata.
Menelusuri dari artikel, mengkaji, mengajak tokoh-tokoh sejarah yang mati. Jadi debu. Berlalu mungkin harus didiskusikan kemudian merangkul dari suka duka atas kepergian yang penuh pengharapan.
Lalu kita temukan, karya-karya spektakuler yang membawa masyarakat dengan pentingnya memahami murka dari para bangsa Belanda untuk membumihanguskan tanah Banda Naira.
Catatan kaki masih tergores di dinding-dinding benteng. Angin berhembus pelan. Membawa saya bertanya untuk siapa yang paling kejam di antara mereka berlayar bersama kapal-kapal menuju Maluku. Masuk dan terus masuk sampai ke jantung hutan kemudian memonopoli seluruh rempah. Mengadu domba, menjadi budak perempuan-perempuan di Banda Naira.
Hutan adalah sebuah mimpi besar untuk merampas isinya, termasuk pohon kenari dan membangun pertahanan perang. Langit seakan tak sanggup melihat perihal tanah Banda Naira diambil hasil alamnya, dan ditinggal konflik berkepanjangan antara kaum pribumi dan Belanda.
Keberagaman itu, dilihat dari keunikan sebuah gunung dengan hamburan lava yang turun sampai ke pantai, laut, dan beberapa pantai yang ketika senja tiba. Seluk beluk pulau yang masih tersimpan sejumlah harta benda maupun sejarah masa lalu.
Gunung api yang menjulang tinggi di atas permukaan laut, dan di bawah rindangnya pohon pala maupun kenari yang masih menari-menari di hutan. Proses seperti apa, banyak sisa kawah yang tertumpuk di dasar laut . Dan pulau tersebut muncul dari dasar laut atau letusan yang cukup besar sehingga menjadi pulau sangat unik, dan tidak ada penghuninya.
Di antara pertemuan dua selat tanjung saat kita memandang dari gunung. Ada pula, saat kapal yang melintasi masuk di Banda Naira menambahkan kenangan dan air mata saat pulang kampung.
Entah kapan gunung itu meletus. Saya tidak tahu tahunnya. Saya sekadar membayangkan, kalau gunung di waktu meletus dan lavanya mengenai orang-orang Belanda yang sedang menjajah Banda Naira. Itu saja.
Sementara dalam sebuah novel Mirah dari Banda yang ditulis Hanna Rambe, katanya, pernah seorang Gubernur Jenderal, Van der Capellen, tiba saat gunung itu meletus, dan rombongannya sempat mengungsi ke Pulau Ay selama sehari.
Ketika saya membaca novel Mirah dari Banda, saya banyak menemukan ketangguhan Hanna saat mengunjungi pulau Banda di bulan April-Mei 1982. Ia menyusuri pulau itu dengan menguraikan jejaknya bersama orang-orang yang masih mengurusi pala di kebun. Sebagian kebun, telah dipekerjakan oleh perempuan.
Hanna menggunakan Wendy sebagai pemeran utama untuk memahami kecantikan Mirah. Mulai dari kedua matanya. Bulat, besar, bersinar sangat cemerlang. Empat baris bulu mata yang lentik dan hitam menghias mata tua yang tetap bersinar itu.
Sementara Leon Agusta dalam tulisan di sampul buku ”Mirah Dari Banda” mengungkap sisi paling gelap tragedi kemanusiaan perang dan perbudakan oleh penjajah Belanda dan jepang terhadap bangsa Indonesia. Perang dan penjajahan telah menginjak-injak harkat kemanusiaan serta menorehkan luka dan trauma bagi perempuan korban perang, seperti Mirah. Kuli kontrak, jugun yangfu romusha, nyai (perempuan piaraan), buruh anak adalah pengalaman yang menjadi sisi dan warna kelam kehidupan bagi Mirah dari Banda dan semua perempuan yang mengalaminya.
Oleh Muhammad Farid dalam buku “Tana Banda” terdapat 3 di Indonesia yang menggunakan nama “Banda” yaitu Banda Aceh, Banda Naira, dan Banda Eli. Nama pertama berada di ujung Barat Indonesia, dan nama terakhir berada di bagian Timur Indonesia.
Pernah dikatakan juga, “manusia pertama” di Banda; kisah penyebaran agama Islam, peran sentral beberapa tokoh, dan asal-muasal buah pala. Ada yang disebutkan juga, “Naira” disebutkan dalam banyak laporan kolonial sejak Portugis sampai Inggris. Juga dalam banyak kartografi milik VOC yang kadang ditulis “Eiland Naira”, kadang juga hanya ditulis “Banda”.
Sedangkan kata “Banda” boleh juga direvisi dari nam-nama sebelumnya, yaitu, Wandan, Andare, dan Andan. Sebuah perubahan yang rumit sehingga melahirkan istilah arti yang benar-benar baru. Perlu ada penelusuran yang ketat soal ini. Tidak sekadar perubahan pelafalan dari “Banda” yang adalah “kota perdagangan” menjadi “Banda” misalnya.
Hal itu dipertegas lagi Muhammad, sebagaimana dikutip Des Alwi, kata “Nira” berarti “maju”. Beberapa tokoh agama Banda menyebutkan asal kata “Nira” dari bahasa Arab yaitu Nayira, dari kata dasar Nur, yang artinya “cahaya yang berpendar”. Maka penyebutan kata “Banda Naira” memunculkan dua kemungkinan maka sekaligus; pertama bermakna “Banda sebagai pulau yang dimiliki tokoh Nira”. Atau kedua, bermakna “Banda”sebagai kota pelabuhan yang bercahaya.
Dari penamaan kata Banda Naira itu, Des Alwi dalam buku Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, mencoba mengartikan, bahwa gugusan Kepulauan Banda Naira ialah Des Alwi dilahirkan. Ia mengatakan, nama Banda Naira sama artinya dengan mengucapkan nama kelahiran.
Ikatan emosional dan kultur tidak pernah luntur dengan tanah kelahiran. Adapun pulau yang terdapat di Banda Naira, seperti Pulau Naira, Pulau Banda Besar, Pulau Hatta, Pulau Ai, Pulau Run, Pulau Gunung Api, Pulau Sjahrir, Pulau Nailaka, Pulau Manukang, dan Pulau Karaka.
Di Pulau Manukang, Nailaka, dan Pulau Karaka tidak berpenduduk sementar 7 pulau lainnya mempunyai 10 desa, 7 desa diantaranya mempunyai kampung adat. Kampung adat Namasawar di Pulau Naira, terdiri dari 3 desa, yakni Nusantara, Merdeka, dan Rajawali.
Penulis Belanda, Valentijn, pada abad ke-17, menyatakan bahwa pemisahan antara Ulilima dan Ulisiwa terjadi karena kekuasaan atas Pulau Seram, Ambon dan pulau-pulau di sekitarnya berada di bawah kerajaan-kerajaan Ternate dan Tidore.
Banda Naira dan Jejaknya

Kepulauan Banda Naira yang terpencil ini selama dari 500 tahun sangat besar peranannya dalam perdagangan dunia. Pala sudah beredar di Eropa sejak zaman Romawi melalui Samudera Pasai yang terkenal dengan nama perfume (minyak wangi) dan rempah-rempah (Aceh-Sumatera). Kepulauan Banda Naira inilah yang mendorong Raja Portugal memerintahkan Colombus menemukan kepulauan tersebut di sebelah barat, kerena sebelumnya Portugis telah mencarinya dari tiga arah lainnya tetapi tidak berhasil menemukan kepulauan tersebut.
Vasco da Gama sebenarnya sedang dalam pelayaran menuju Kepulauan Banda Naira, ketia ia mengitari Tanjung Harapan. Hal yang sama ketika Ferdinand Magellan sebelum mengitari dunia, pernah menjadi wakil kapal portugis yang pertama kali masuk di Banda Naira pada tahun 152 di bawah Kapitan d’Abaru dan Serrao. Sedangkan Leonard Y. Andaya menyebutkan, ketika orang-orang Portugal pertama kali tiba di India pada 1498 di bawah kepemimpinan Vasco da Gama, mereka datang dengan padangan yang mantap tentang apa yang mereka temukan.
Bahwa pandangan Eropa tentang Timur, awalnya bangsa Eropa Barat modern tentang bangsa lain dan kebudayaan yang berkembang dalam jangka waktu lama bermula dari Yunani Kuno. Seperti banyak budaya lain, bangsa Yunani mempunyai banyak gagasan mengenai evolusi penduduk dan peradaban. Salah satu dari hal tersebut adalah perkembangan budaya berevolusi dalam tahap dari zaman primitif di masa lalu yang berliku sampai peradaban masa kini di mana penduduk hidup di kota.
Pandangan lokal juga tentang sebuah dunia bersatu yang dikenal sebagai Maluku adalah anggapan dasar yang membangun sejarah wilayah ini di awal zaman modern. Bangsa Portugal pada awal abad XVI mencatat tradisi-tradisi yang menekankan pada bentuk kesatuan ini, dan hampir 300 tahun kemudian bangsa Belanda merasakan konsekuensinya karena menghindari tradisi semacam itu. Bagi bangsa Eropa, nama Maluku itu sendiri tak dapat dimengerti, apalagi pandangan dari kesatuan yang meliputi wilayah yang luas dan beraneka ragam.
Menjelang abad ke-16, pala yang menjadi hasil utama Kepulauan Banda Naira merupakan komoditas dunia yang dicari orang Eropa. Kepulauan Banda Naira adalah satu-satunya penghasil komoditas tersebut. Orang Eropa berupaya menemukan kepulauan yang menghasilkan pala namun ekspeidisi selalu gagal dirundung ketidakberhasilan.
Penjelajah Portugis, Laksamana Alfonso d’Albulquerque berangkat dari Portugal. Setibanya di Mozambique, Alfonso d’Albulquerque yang berupaya menemukan kepulauan rempah-rempah itu mengirim laporan kepada Raja Portugal bahwa informasi ada orang Mozambique yang dapat menjadi pemandu mereka ke Malaka di Asia. Setelah menduduki Malaka kurang lebih 3 bulan, pada November 1511 Albuquerque mengirimkan dua kapalnya untuk menemukan Kepulauan Banda Naira. Kedua kapal itu masing-masing dipimpin oleh Antonio de Abrue dan Fransisco Serrao, berlayar ke Maluku dengan dipandu oleh seorang nakhoda melayu bernama Ismail yang berada di Malaka.
Fransisco Serrao akhirnya tiba di Ternate dan menetap di sana sebagai penasehat Sultan Ternate Bolief. ”Sultan Bolief dan kerabat istana menyambut kedatangan mereka dengan pesta. Sang Sultan, yang menikmati ketenaran sebagai peramal, sebelumnya meramalkan bahwa pada suatu hari akan datang serombongan orang besi dari negara jauh yang bersedia bekerja demi kemasyuran kerajaannya, suatu hal yang kebetulan juga diramalkan oleh Sultan Tidore sebagai kerajaannya”.
Setelah kedatangan Serrao, terjadilah orang Ternate dan Malaka kesibukan lalu lintas pelayaran, terutama kapal-kapal Asia, tetapi di awal 1513 datang juga armada niaga Portugis.
Rupanya kesengsaraan Serrao di laut, dan keuntungannya di darat, telah menemukan bahwa Ternate dan Tidore, dan bukan Banda dan Ambon, yang menjadikan pusat kejadian-kejadian penting di Maluku selama satu abad itu. Sayangnya, kejadian-kejadian itu lebih berkaitan dengan pertikaian ketimbang perdamaian.
Namun kedatangan orang-orang Portugis di awal 1512 setelah berlayar tanpa banyak gangguan kecuali sebuah kapal dan rombongan karam, para penjajah ini menemukan Kepulauan Banda Naira. Penduduk Kepulauan Banda Naira yang sejak mengetahui bahwa orang-orang Eropa sangat menghargai hasil bumi mereka, dengan senang hati menerima kedatangan tamu-tamu kulit putih dan berdagang dengan mereka secara langsung.
Setelah 1 bulan orang-orang Portugis ini berada di Kepulauan Banda Naira, mereka membeli dan memuat kapal-kapal mereka dengan pala, bunga pala dan cengkeh. Penjelajah Portugis membeli semua hasil bumi ini dengan harga yang sangat murah. Dengan harga murah itulah mereka memperoleh keuntungan hingga 1.000 persen ketika menjualnya ke Lisbon.
Walau mereka berada di Kepulauan Banda Naira selama 87 tahun, catatan sejarah Banda pada masa berdomisilinya pendatang Portugis di Kepulauan tersebut yang tidak banyak ditemukan. Catatan yang dibuat penduduk Banda Naira sama sekali tidak ada dan para sejarawan Portugis yang laporannya tentang pulau-pulau lain sedemikian rinci ternyata memilih berdiam diri di Banda Naira.
Untuk memahami lebih jauh lagi, pemaknaan nama Banda Naira, maupun memproteksi jejaknya, membuat saya bangga, karena sudah mengenal Banda Naira. Inspirasi Banda Naira, membuat kita tak lupa pala sebagai komoditas untuk mempertahankan hidup dan menghidupkan. Sudah cukup tetesan darah tertumpah di tanah Timur Indonesia. (*)
Artikel ini sudah ditayang di tandaseru.com, edisi Jumat (22/1/2021)
Discussion about this post